Nama :
Liska Lesmana
Kelas :
1PA09
NPM :
14511124
Dampak
IPTEK Terhadap Lingkungan dan SDA
Pengalaman beberapa negara berkembang
khususnya negara-negara latin yang gandrung memakai teknologi dalam industri
yang ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk pembangunan
ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini
terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya dinikmati oleh
negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau pembuat teknologi.
Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan ladang pembuangan produk teknologi
karena tingginya tingkat ketergantungan akan suplai berbagai jenis produk teknologi
dan industri dari negara maju. Alasan umum yang digunakan oleh negara-negara
berkembang dalam mengadopsi teknologi (iptek) dan industri, searah dengan
pemikiran Alfin Toffler maupun John Naisbitt yang meyebutkan bahwa untuk masuk
dalam era globalisasi dalam ekonomi dan era informasi harus melewati gelombang
agraris dan industrialis. Hal ini didukung oleh itikad pelaku pembangunan di
negara-negara untuk beranjak dari satu tahapan pembangunan ke tahapan
pembangunan berikutnya.
Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus dipenuhi dalam memenuhi
permintaan akan berbagai jenis sumber daya (resources), agar proses industri
dapat menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia, seringkali
harus mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup manusia. Hal ini dapat kita
lihat dari pesatnya perkembangan berbagai industri yang dibangun dalam rangka
peningkatan pendapatan (devisa) negara dan pemenuhan berbagai produk yang
dibutuhkan oleh manusia. Disamping itu, IPTEK dikembangkan dalam bidang
antariksa dan militer, menyebabkan terjadinya eksploitasi energi, sumber daya
alam dan lingkungan yang dilakukan untuk memenuhi berbagai produk yang
dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupanya sehari-hari. Gejala memanasnya
bola bumi akibat efek rumah kaca (greenhouse effect) akibat menipisnya lapisan
ozone, menciutnya luas hutan tropis, dan meluasnya gurun, serta melumernnya
lapisan es di Kutub Utara dan Selatan Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi
dari terjadinya pencemaran lingkungan kerena penggunaan energi dan berbagai
bahan kimia secara tidak seimbang (Toruan, dalam Jakob Oetama, 1990: 16 – 20).
Selain itu, terdapat juga indikasi yang memperlihatkan tidak terkendalinya
polusi dan pencemaran lingkungan akibat banyak zat-zat buangan dan limbah
industri dan rumah tangga yang memperlihatkan ketidak perdulian terhadap
lingkungan hidup. Akibat-akibat dari ketidak perdulian terhadap lingkungan ini
tentu saja sangat merugikan manusia, yang dapat mendatangkan bencana bagi
kehidupan manusia. Oleh karena itu, masalah pencemaran lingkungan baik oleh
karena industri maupun komsumsi manusia, memerlukan suatu pola sikap yang dapat
dijadikan sebagai modal dalam mengelola dan menyiasati permasalahan lingkungan.
Seringkali ditemukan pernyataan yang menyamakan istilah ekologi dan lingkungan
hidup, karena permasalahannya yang bersamaan. Inti dari permasalahan lingkungan
hidup adalah hubungan mahluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungan
hidupnya. IImu tentang hubungan timbal balik mahluk hidup dengan lingkungan
hidupnya di sebut ekologi (Soemarwoto, 1991: 19). Lingkungan hidup adalah
sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya. keadaan dan
mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dengan prilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan peri kehidupannya dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup
lainnya (Soerjani, dalam Sudjana dan Burhan, 1996: 13).
Dari definisi diatas tersirat bahwa mahluk hidup khususnya merupakan pihak yang
selalu memanfaatkan lingkungan hidupnya, baik dalam hal respirasi, pemenuhan
kebutuhan pangan, papan dan lain-lain. Manusia berinteraksi dengan lingkungan
hidupnya, yang dapat mempengaruhi dan mempengaruhi oleh lingkungan hidupnya,
membentuk dan dibentuk oleh lingkungan hidupnya. Hubungan manusia dengan
lingkungan hidupnya adalah sirkuler, berarti jika terjadi perubahan pada
lingkungan hidupnya maka manusia akan terpengaruh.
Uraian ini dapat menjelaskan akibat yang ditimbulkan oleh adanya pencemaran
lingkungan, terutama terhadap kesehatan dan mutu hidup manusia. Misalnya,
akibat polusi asap kenderaan atau cerobong industri, udara yang dipergunakan
untuk bernafas oleh manusia yang tinggal di lingkungan itu akan tercemar oleh
gas CO (karbon monoksida). Berkaitan dengan paparan ini, perlakuan manusia
terhadap lingkungan akan mempengaruhi mutu lingkungan hidupnya.
Masalah pencemaran
lingkungan hidup, secara teknis telah didefinisikan dalam UU No. 4 Tahun 1982,
yakni masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen
lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan
manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat lagi
berfungsi sesuai peruntukannya.
Dari definisi yang panjang tersebut,
terdapat tiga dampak IPEK terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam yaitu;
dampak secara kimiawi, fisik dan biologis. Resiko kimiawi akibat IPTEk adalah:
senyawa-senyawa kimia berbahaya yang terdapat di air, tanah, udara dan makanan.
Resiko fisik akibat IPTEk adalah kebakaran, gempa bumi, letusan gunung berapi,
kebisingan, radiasi, sedimentasi. Resiko biologis akibat IPTEk adalah pathogen
(bakteri, virus, parasit), dan bahan kimia yang mengakibatkan kerusakan pada
jaringan tubuh. Pencemaran terjadi bila dalam lingkungan terdapat bahan yang
menyebabkan timbulnya perubahan yang tidak diharapkan, baik yang bersifat
fisik, kimiawi maupun biologis sehingga mengganggu eksistensi manusia dan
aktivitas manusia serta organisme lainnya. Bahan penyebab pencemaran tersebut
disebut polutan. Polusi disebabkan terjadinya factor-faktor tertentu yang
sangat menentukan ialah:
1.
Jumlah penduduk
2.
Jumlah sumberdaya alam yang digunakan oleh setiap individu
3.
Jumlah Polutan yang dikeluarkan oleh setiap jenis SDA
4. Teknologi
yang digunakan
Penggunaan sumberdaya yang salah
menimbulkan erosi, sedimentasi yang merusak, penggaraman tanah dan air,
penggersangan lahan, banjri dsb. Limbah dan sisa proses menimbulkan
contamination dan pollution atas udara, tanah dan air. Dampak menyebar dan
meluas cepat lewat udara dan air. Penyebaran dan peluasan dampak lewat tanah
langsung berjalan sangat lambat. Akan tetapi tanah dapat bertindak sebagai
penyimpan zat atau bahan pencemar atau pengotor selama waktu lama dan dengan
demikian menjadi sumber dampak yang nantinya akan tersebar lewat udara atau
air. Zat pencemar yang tersimpan dalam tanah juga dapat menyebar lewat serapan
tanaman bersama dengan panenan yang diangkut dan digunakan ditempat-tempat
lain. Kalau zat pencemar diserap tanaman pangan atau pakan, akan dapat
mnimbulkan pencemaran dakhil (internal pollution) atas orang atau ternak
dimana-mana tempat memperjual belikan bahan pangan atau pakan tersebut. Sumber
pencemaran dakhil lebih sulit dilacak daripada sumber pencemaran lewat udara
dan air.
Pencemaran dapat datang dari sumber
pasti misalnya dari saluran pembuang limbah pabrik atau datang dari sumber
baur, misalnya dari aliran limpas lahan pertanian, pencemaran sumber pasti
secara nisbi lebih mudah ditangani karena titik pelepasan bahan pencemar jelas
dan susunan bahan pencemar terbatas keanekaannya. Pencemaran sumber baur lebih
suli ditangani kerana titik pelepasannya dan titik asalnya berada di mana-mana
dan susunan bahan pencemarannya sangat beraneka.
Ada dampak yang tinggal di tempat
dampak itu ditimbulkan, misalnya pemampatan tanah oleh alat-alat berat dalam
pembukaan lahan atau penggaraman tanah oleh system irigasi yang dirancang tanpa
memperhitungkan neraca air pada antarmuka atmosfer tanah. Ada dampak yang
diekspor ke tempat lain dari tempat asalnya, misalnya erosi di hulu mengekspor
dampak sedimentasi ke hilir atau asap kendaraan bermotor dari jalur jalan
diekspor ke kawasan pertanian atau pemukiman sepanjang jalan. Kawasan yang
menimpor dampak menghadapi persoalan serupa dengan yang terkena. Teknologi yang
diandalkan sebagai istrumen utama dalam “revolusi hijau” mampu meningkatkan
hasil pertanian, karena adanya bibit unggul, bermacam jenis pupuk yang bersifat
suplemen, pestisida dan insektisida. Dibalik itu, teknologi yang sama juga
menghasilkan berbagai jenis racun yang berbahaya bagi manusia dan
lingkungannya, bahkan akibat rutinnya digunakan berbagi jenis pestisida ataupun
insektisida mampu memperkuat daya tahan hama tananam misalnya wereng dan kutu
loncat.
Berdasarkan hasil studi empiris yang pernah dilakukan oleh Magrath dan Arens
pada tahun 1987 (Prasetiantono, di dalam Sudjana dan Burhan (ed.), 1996: 95),
diperkirakan bahwa akibat erosi tanah yang terjadi di Jawa nilai kerugian yang
ditimbulkannya telah mencapai 0,5 % dari GDP, dan lebih besar lagi jika
diperhitungkan kerusakan lingkungan di Kalimantan akibat kebakaran hutan,
polusi di Jawa, dan terkurasnya kandungan sumber daya tanah di Jawa. Terlepas
dari berbagai keberhasilan pembangunan yang disumbangkan oleh teknologi dan
sektor indusri di Indonesia, sesungguhnya telah terjadi kemerosotan sumber daya
alam dan peningkatan pencemaran lingkungan, khususnya pada kota-kota yang
sedang berkembang seperti Gresik, Suarbaya, Jakarta, bandung Lhoksumawe, Medan,
dan sebagainya. Bahkan hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami
peningkatan suhu udara, sehingga banyak penduduk yang merasakan kegerahan
walaupun di daerah tersebut tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat
industrinya.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Amsyari (Sudjana dan Burhan (ed.),
1996:104), mencatat keadaaan lingkungan di beberapa kota di Indonesia, yaitu:
Terjadinya penurunan kualitas air permukaan di sekitar daerah-daerah industri.
Konsentrasi bahan pencemar yang berbahaya bagi kesehatan penduduk seperti
merkuri, kadmium, timah hitam, pestisida, meningkat tajam dalam kandungan air
permukaan dan biota airnya.
Kelangkaan air tawar semakin terasa, khususnya di musim kemarau, sedangkan di
musim penghujan cenderung terjadi banjir yang melanda banyak daerah yang
berakibat merugikan akibat kondisi ekosistemnya yang telah rusak. Temperatur
udara maksimal dan minimal sering berubah-ubah, bahkan temperatur tertinggi di
beberapa kola seperti Jakarta sudah mencapai 37 derajat celcius. Terjadi
peningkatan konsentrasi pencemaran udara seperti CO, NO2r S02, dan debu. Sumber
daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia terasa semakin menipis, seperti minyak
bumi dan batubara yang diperkirakan akan habis pada tahun 2020. Luas hutan
Indonsia semakin sempit akibat tidak terkendalinya perambahan yang disengaja
atau oleh bencana kebakaran. Kondisi hara tanah semakin tidak subur, dan lahan
pertanian semakin memyempit dan mengalami pencemaran.
Sumber :